Friday 22 November 2013

Sudah Setahun Beliau Meninggalkan Kami

Tepat pada hari ini setahun yang lalu, hari yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hidup. Hari yang akan terus menjadi hari penyesalan saya sampai kapan pun. Setahun yang lalu hari kamis pukul 09.30 pagi, saya baru sampai di meja kerja. Baru saja saya menaruh laptop yang selalu menemani hari-hari kerja saya, handphone saya berdering. Belum sempat juga saya duduk di kursi saya, diangkatlah panggilan itu yang berasal dari papa saya. Dalam pikiran saya biasalah, papa pasti pengen ngobrol. 

Ternyata berita yang disampaikan cukup mengejutkan, kakak perempuan saya masuk ICU karena tidak sadar dan terjatuh saat di rumah. Saat itu tidak ada pikiran apapun, kecuali saya berdoa semoga kembali sehat kakak saya. Setengah jam kemudian tepat pukul 10.00 pagi, telpon kembali berdering. Saya belum duduk sama sekali selama setengah jam itu, karena pikiran saya tidak karuan. Sesaat setelah diangkat, pecahlah tangisan papa diujung telpon. Beliau mengabarkan kalau kakak saya akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung. Lemas badan dan kaki saya saat itu juga, lantai tempat saya berpijak seakan runtuh semua, badan saya jatuhkan ke kursi kerja saya. 

Bagai petir yang menggelegar di pagi hari tanpa hujan. Kakak saya meninggal..., saya masih tidak merasa itu sebagai kenyataan. Pikiran saya jauh kembali ke masa masih bisa bertatap muka dengan kakak saya. Sejurus kemudian, semua peralatan yang saya biasa pakai untuk bekerja saya bereskan dan langsung saya minta ijin ke mas Ferry untuk minta ijin pulang ke Purwokerto. Mas Ferry pun mengijinkan, dan menanyakan akan naik apa pulangnya ? saya juga tidak tahu harus naik apa kesana dengan keadaan yang mendadak itu.

Almarhumah Kakak dengan putranya
Kemudian, setelah diijinkan pulang saya telpon adik saya yang ada di kantor. Tangis dia sudah pecah karena papa juga sudah mengabarkan ke dia. Saya bilang ke adik saya supaya jangan menangis lagi karena itu sudah takdir dari Allah SWT. Dan saya berani bersumpah bahwa pada saat itu saya tidak akan menangisi kepergian kakak saya. Bukan karena tidak sayang, tapi saya merasa bahwa bila saya menangisi kakak saya terus malahan kasihan beliau. Akan ada yang merasa ada tanggungan buat kakak saya, bila kami menangisi beliau. Yang dibutuhkan beliau adalah doa kita, bukan tangisan kita.

Setelah bertemu dengan adik saya, kami berdua bersepakat untuk langsung ke stasiun Gambir. Kami pesan kereta yang paling datang cepat saat itu dan berangkat pukul lima sore. Bahkan sampai sekarang kalau saya ditanya saat itu naik kereta apa saya juga sudah lupa. Tiket sudah didapatkan, dan kami sudah di stasiun sejak pukul satu siang dengan keberangkatan jam lima sore.
Handphone saya berbunyi, saya angkat ternyata mama yang ada disana. Beliau sangat sabar benar-benar sangat sabar. Dari nada bicaranya sama sekali tidak menunjukkan kesedihan, beliau sudah sangat ikhlas dengan kepergian kakak saya. Beliau menanyakan kepada saya, bagaimana sebaiknya dengan jenazah kakak saya, apakah dikuburkan menunggu saya datang atau tidak. Saya memutuskan agar jenazah segera dimakamkan saja, karena kasian kalau harus menunggu kami yang baru sampai di Purwokerto pukul 1 dinihari. Dengan kata lain, jenazah baru akan dimakamkan besok paginya. 

Sebenarnya saya sangat tidak rela kalau tidak melihat dan melepas jenazah kakak saya untuk terakhir kali. Tapi, demi kakak saya, kami dengan adik ikhlas untuk kakak dimakamkan sore itu juga tidak menunggu kami sampai rumah. 

Di sepanjang perjalanan kereta, semua peristiwa dahulu yang saya ingat tentang kakak saya terulang kembali. Memori yang dahulu pernah kita lalui bersama, dari bercanda, marahan, menangis berulang semua. Satu yang saat itu saya ingat adalah kakak saya meski perempuan, beliau membela mati-matian adik-adiknya yang laki-laki bila ada orang mengganggu kami berdua. Beliau tidak takut sama sekali dengan orang tersebut bahkan kalau perlu dilawan dengan fisik. Kakak perempuan yang sangat tangguh sekali buat kami.

Kini, setahun sudah beliau terbaring di kuburnya, kami hanya bisa menziarahi makam beliau dan mendoakan beliau setiap saat di dalam doa dan sholat kami. Tak ada yang tak akan saya lupakan semua apa yang telah beliau lakukan buat kami. Beliau meninggalkan satu putra berumur 4 tahun saat meninggal. Sekarang saya melihat anak beliau menjadi satu copian kakak saya. Benar-benar mirip dengan almarhumah. 

Bahkan sampai sekarang penyesalan terbesar dalam hidup saya adalah, saya tidak bisa mengantarkan almarhumah ke pemakaman. Bahkan, saya tidak bisa melihat wajah beliau terakhir kali. Sedih amat sangat bila teringat beliau. Kadang tiba-tiba saya kangen dengan beliau, air mata ini menetes sendiri. Saya hanya bisa mendoakan dan mengirim Al Fatihah buat beliau, semoga disana beliau dilapangkan kuburnya, diterangkan kuburnya, diterima amal baiknya dan dimaafkan segala kesalahannya. Amin..

"I am really really miss you, Sister. We always love you forever"
Erna Hapsari Pangestuningtyas ( 11 Mei 1980 - 22 November 2012)

No comments:

Post a Comment